Sebuah karya seni (lukis) terlahir, berkaitan, dipengaruhi oleh 5 hal
1. Artistik
2. Kecerdasan
3. Tehnik
4. Karakter
5. Selera
Artistik (Cita rasa seni) memberi pengaruh bobot seni pada karya lukis yang dibuat. Semakin tinggi cita rasa seni, semakin memberi kemungkinan lebih bobot artistik pada karya yang dihasilkan. Semakin lagi akan semakin lagi. Variable hal demikian menjadikan karya satu dan lain orang berbeda.
Kecerdasan Berkaitan pada penuangan ide, gagasan, buah fikiran terhadap karya seni lukis yang dibuat. Semakin cerdas semakin tajam ide, gagasan atau pemikiran yang mendasari konsep karya. Varian level kecerdasan ada sebagai kejamakan alamiah pada setiap orang.
Tehnik Terkait daya terampil, ketangkasan seseorang dalam berkarya. Semakin cekatan, semakin memungkinan mudah dalam memvisualisasikan ide, gagasan, kedalam karya. Masing-masing manusia dilahirkan dengan lavel kecekatan tak selalu sama, ada kelebihan ada kekurangan.
Karakter terkait emosional, sifat-sifat bawaan seseorang. Misal; lemah-lembut, agresif, pemalu, pemberani, sabar, temperamental, dan sebagainya. Akan memberi pengaruh karakter pada karya seni lukis yang dibuat. Yang membuat karya satu dan lain orang menjadi sangat berbeda.
Selera Terkait penikmatan atas hal-hal tertentu dalam melukis mis; penikmatan terhadap warna, komposisi, tehnik, goresan, sapuan, bahan, pemilihan obyek dan sebagainya. Masing-masing orang berbeda meski tak menutup kemungkinan ada kesamaan diantaranya. Selera pribadi sebagai hal yang menjadi begitu manusiawi, harus dihormati, tak selayaknya penikmatan atas satu hal (subyektif) dipaksakan penerapannya kepada orang lain.
Ke lima hal diatas memaklumatkan atas dorongan lahirnya berbagai aliran seni lukis seperti misal; realism, surrealism, naturalism, ekspresionism, impresionism, naifism (gaya seni lukis anak-anak), kubism, dadaism, optic art, pop art, dekoratif, abstrak, environmental art, instalasi art, naratif art, kaligrafi dan masih banyak lagi hingga kontemporer art.
Memberi penyadaran bahwa, keberagaman karya seni lukis (anak) sebagai hal tak dapat diingkari, tak selayaknya siapapun mengitervensi, memasung dalam kata ‘salah’ atau ‘buruk’ atau, beginilah cara melukis yang baik, benar. Jika tidak seperti ini salah. Jelek. Dalam kaitan metodologi pengajaran, membimbing, mengarahkan, mengembangkan, berbasis karakter dan kepribadian anak sebagai hal yang seharusnya dijunjung tinggi. Kepribadian, karakter itu pada gilirannya akan menjadi ciri bahkan kekuatan tersendiri bagi karya lukis anak didik kelak, tak terduakan oleh karya orang lain. Hal demikian disebut b e r k e p r i b a d i a n .
Keberagaman aliran karya lukis serta tingkat bobot sebagai hal lumrah ada. Dipengaruhi variable unsur-unsur kebakatan, kekuatan kelima hal diatas. Dapat dikaji dengan penjelasan, artistik kuat konsep-ide bagus tehnik rendah, memungkinkan lukisan menjadi mentah. Atau cerdas, tehnik bagus tapi artistik rendah, lukisan terasa ringan. Artistik-tehnik-ide bagus emosional kosong lukisan terasa tanpa greget. Artistik, tehnik, ide, sama-sama kuat, memungkinkan karya tajam bertenaga. Dan sebagainya. Fakta lain bahwa situasional kondisional tertentu (mood) sangat berpengaruh pada emosional kegairahan saat melukis. Ahirnya, seberapa jauh tehnik, gaya, ide gagasan, penikmatan, serta karakter emosional terwakili dalam penerapannya pada sebuah karya, benar-benar persoalan yang bersifat personal. Disini kapasitas guru (dalam lingkup sekolah, prifat) menjadi tepat, bijak, sebagai apresiator, pendamping, pembimbing, mengembangkan. Dilembaga pendidikan tinggi (misal ISI Yoyakarta, sesuai pengalaman penulis) kepribadian seperti dimaksud, hal yang dihormati, ditempatkan sebagai salah satu mata rantai menuju penemuan eksistensi. Ahirnya menuntut kepekaan para pembimbing (dosen) untuk mengerti tentang kekuatan basic dari setiap mahasiswanya, kemudian tinggal membimbing mengarahkan kekuatan masing-masing yang dimiliki; “majulah, pertahankan ciri khasmu, jadilah dirimu sendiri”. Bayangkan andai wajah kita semua dibuat sama, kapan kita akan menjadi diri kita, bagaimana orang akan mengenali kita sebagai kita. Demikian seni lukis, sebuah karya seni lukis dapat dikata indentifikasi personal seorang pelukis.
Dunia anak, adalah refleksi dari pikiran putih ‘suci’. Ekspresifitas anak adalah perupaan yang terbangun antara konektifitas kelugasan, disatu sisi, sedang disisi lain, energi alam murni (naluri) sebagai gerak didalamnya. Disinilah letak mahalnya karya seni lukis anak, kemengaliran yang e n t a h , bukan oleh apapun, siapapun, kenapapun. Lepas dari teoritis, konstruktif, normative dan sebagainya. Sekenanya. Bagaimana kapasitas pembimbing, guru bisa mengangkat naluri alamiah disebalik kelugasannya, menjadikan kemengaliran yang entah kedalam gerak tangannya. Autentik, uniq, e k s o t i k menderas tanpa terhambat oleh rasa takut salah, takut buruk meski sangat lepas dari hukum, kaidah-kaidah apapun. Sebuah persoalan dimensional psychology yang tak sederhana. Sebagai hal yang begitu susah didapat ulang bagi orang yang sudah melewati masa kanak-kanaknya. Namun jika orang dewasa bisa melukis seperti ini akan bisa jadi nilainya sangat tinggi (banyak pelukis-pelukis besar dunia bergaya lukisan anak-anak). Dan pada titik pengertian tertentu menjadi boleh dikata;
“bergurulah hai orang dewasa kepada anak-anak jika ingin melukis dalam kepolosan, sebab disanalah kanalisasi ketakterdugaan tanpa batas itu ada”.
Mengenai penulis, dalam kaitan ini acap mengatakan kepada beberapa murid yang didapati karya lukisnya begitu melampaui batas;
“ajari bapak melukis dong” (kepada murid Pichi, Belladona, Maura, Doreen, Jannet, dll)
saya mengamati terkagum-kagum, tak berkutik, cemburu. Ini ana-anak. Bagaimana mungkin saya akan kejam merobahnya menjadi seperti saya, meskipun saya gurunya, S1 lagi. Jika ini terjadi saya akan pasti tersayat, barangkali menangis.
Seorang maestro seni lukis abstrak dunia dari Indonesia, Affandi (alm) pernah mengatakan “anak-anak itu sebetulnya adalah seorang pelukis”. Didalam kelas atau dalam pelaksanaan lomba lukis anak, aneka rupa karya yang identik dengan aliran-aliran seni lukis seperti disampaikan diatas sangat banyak bermunculan. Ini dengan sendirinya. Tinggal bagaimana guru pembimbing atau juri lomba kritis menangkap hal-hal faktual demikian. Tidak sebaliknya, menenggelamkan, menggugurkan atas alasan “jika tidak melukis seperti ini (realis) salah dan lalu, kalah” (subyektif).
“Jadilah dirimu sendiri”. Kata ini begitu bertenaga menggugat (!), artinya tak sepantasnya siapapun orang boleh ‘sekenanya’ menghakimi hal-hal personal seseorang karna tidak seperti seseorang. Dipaksa harus seperti seseorang. Sebab jika itu dilakukan hal-hal elementer dalam diri manusia, karakter, level kecerdasan berfikir, kecerdasan emosional seperti dipungkiri dari jatah kodratnya.
Menyeragamkan karya lukis anak satu kelas dalam satu ‘tone’ warna, satu tehnik, satu gaya. Stereo tape seragam serombongan. Dimanakah kemudian kepribadian akan hadir dalam lukisan?. Dimanakah ruang hak untuk menjadi diri sendiri?. Bagaimana kemudian memaklumi, hal faktual tentang sifat manusia yang diciptakan-NYA berbeda-beda?.
Diharuskan melukis dengan cara “seperti ini (!)”, “jika tidak seperti ini salah”, “beginilah mewarnai yang benar”. Aliran-aliran seni lukis seperti dipungkiri, dilempar dari wacana edukatif. Konektifitas eksistensi untuk menjadi diri sendiri dibutakan, dikubur dalam keseragaman. Kapabilitas individu yang bersifat ‘ruh’ terampas, dimana didalam ruh letak hakiki daya kekuatan sebuah karya, kekuatan itu enyah, karya menjadi kosong. Ahirnya karya-karya yang demikian terlahir tapi tergelincir. Indonesian Idol, X factor, Indonesian Got Talens, Indonesia mencari bakat, American Idol dan sebagainya, pun jelas jelas menentang stereo tape (peniru), selalu menegaskan “jadilah dirimu sendiri”, “keluarlah dari jebakan yang mengulang-ulang hanya itu itu saja”, “jadikan dirimu sebagai hal bebas bagi ekspresifitas berkreasi”, “dinamislah”, “inovatiflah” dan sebagainya. Dari duduk soal ini, menjadi timbul sebuah pertanyaan, “bagaimana metodologi seorang Tino Sidin ketika itu mengajari anak menggambar?”. Relevankah cara itu diterapkan?. Nyatanya dituduh sebagai pembodohan. Dan lalu, vacum.
Penyeragaman dalam berkarya seni, adalah pengebirian element paling hakiki yakni; kreatifitas berbasis karakter individu. Yang hakekatnya bebas, lepas, independen. Hal yang harusnya disikapi, ditempatkan sebagai value personal. Jika hal itu dilakukan akan berpotensi memutus garis sakral yang memungkinkan seorang guru menemukan hal-hal diluar dugaan, misal; mengidentifikasi bahwa lukisan si Doreen, atau Ines, atau Jannet, Maura dan yang lain-lain masuk dalam jenis ekspresionisme, atau impresionisme, yang ini abstrak, yang demikian disebut naïf, yang menggila dengan potelotnya disebut sketsa (Rara & Nana), yang asik dengan penjelajahan alam bawah sadarnya itulah eksploratif (Ines), ada yang sangat sederhana tapi esensial (Dewi), ada yang dekoratif, ada yang mencoba berusaha realis meskipun pletat-pletot. Ada yang entah sekenanya tapi dahsyat (Moritz, Alfred, Audey) dan selainnya. Bisa dibayangkan jika semua itu tiba-tiba terhapus dalam penyeragaman. Tidak ada Doreen, Ines, Jenny, Jannet, Moritz, Alfred, Maura dan masih banyak yang lainnya. Kecuali satu. Selera guru. Dan ketika digelar berjajar atau dipamerkan m o n o t o n (datar), m o n o c h r o o m (sama warna). Memenangi kompetisi menjadi bukan sebuah tolok ukur, sangat mungkin karna kualitas penyelenggaraan, atau laveling penjurian, kepentingan, hegemoni, subyektifitas. Pun sebaliknya berlaku bagi yang kalah, belumlah tentu karna dibawah standar kwalitas. Bisa jadi malah sebaliknya, hanya saja keburu kandas, oleh dangkalnya penilaian. M e n y e d i h k a n .
Beberapa waktu belakangan, penulis mendiskusikan terjadinya gejala (ala sanggar) dengan kawan-kawan seniman Klaten juga Jogjakarta, yang sudah dalam taraf mengganggu kredibilitas penyelenggaraan lomba lukis anak-anak diberbagai kesempatan (terjadi seragam serombongan). Ini kami sebut bencana dunia seni lukis anak. Yang seharusnya kita (para juri, ketika itu penulis salah satu didalamnya) menghormati kebebasan berekspresi anak. Mau melukis dengan tehnis, gaya, komposisi, selera warna apa saja silahkan, yang jauh dari pengebirian. Bebas uniq, eksotik, inovatif, berkarakter, berkepribadian, adalah hak setiap peserta. Harus diberi ruang selebar-lebarnya. Gejala demikian ini tidak boleh berlarut-larut. Menjerumuskan publik pada unkredibilitas dunia seni lukis anak yang (tak disadari) dibawa dalam penjebakan stereo tape. Memasung kreatifitas anak yang kelebarannya begitu tak terduga. Dimana hal demikian di lembaga pendidikan setingkat university pun sangat tidak dibenarkan.
Ternyata Jogjakarta pun sama-sama gerah dengan gejala ini. Banyak kritik pedas keras ditujukan ke sanggar-sanggar seni lukis anak. Dan mereka (sanggar) berintrospeksi. Para orang tua menjadi berhati-hati menitipkan putra-putrinya. Setidaknya penulis sudah pula (dengan sendirinya) mengkritisi hal yang sama di Klaten. Mungkin lebih dulu (5th yang lalu). Penulisan ini tidak sedang hendak sinis terhadap keberadaan sanggar seni lukis anak-anak (silahkan saja), hanya persoalan bagaimana psykologi serta aspek humanity harusnya dipahami, metodologi pengajaran tidak membuta dari hal-hal kodrati. Tidak menabraki kaidah-kaidah keseni lukisan.
Pada kesempatan sebagai juri dibeberapa event, penulis dan diantaranya GM Sudarta (dosen universitas Seni Rupa Tokyo Jepang), Supono PR (mantan staf pengajar SMSR Yogyakarta), Irah Banuboro penulis seni Yogyakarta, Ansory (ketua PASREN dan SANGGARBAMBU Klaten) dan lain-lainnya, penulis menyampaikan hal tersebut. Mereka terkejut, prihatin. Protes “ini tidak boleh terjadi”. Bersepakat dengan pemikiran penulis.
Kamipun mengolah metode penilaian yang harus kredibel, adil, balance, obyektif. Di Yogyakarta bahkan, menjadi tidak gampang lagi menyelenggarakan lomba seni lukis anak-anak. Curiculum vitae para juri menjadi tolok ukur, di tancapkan dipintu masuk pendaftaran. Basic akademisi (ISI Yoyakarta-red) menjadi trand setter yang jika tidak, penyelenggaraan dijamin akan sepi tiada peminat. Alias dianggap tidak credible.
Disetiap kesempatan sebagai juri, sebelum mengumumkan pemenang lomba, hal-hal diatas terlebih dahulu penulis sampaikan didepan peserta dan para orang tua “harap maklum jika nanti yang dari sanggar tidak terpilih juara”.
Semoga bermanfaat.
Klaten, 31-8-2015
Bambang pujiono/Pelukis/Pemerhati seni lukis anak